SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI INDONESIA
Demokrasi adalah
suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal
dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan
(demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía)
"kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos)
"rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk
pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di
negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun
508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai
suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan
berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato
Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam
sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan
suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi,
keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi di
Indonesia
Semenjak kemerdekaan
17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa
Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden
harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih
dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang
kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu.
Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk
pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian
Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem
pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu
yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk
kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto
tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999
yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
Diskursus demokrasi
di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang
demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan
guna memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk
memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya
dapat dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman
pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan
Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di
zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model
Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang
demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan
Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu
kebebasan politik warganya.
Dipasungnya demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat
rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada
tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia
akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998.
Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil
dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis.
Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998
di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat
menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan
kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist
hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan
pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Tulisan ini berusaha menguraikan lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju
konsolidasi demokrasi di Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena
masih mencerminkan suatu pragmatisme politik. Selain itu di akhir, penulis akan
berupaya menjawab pilihan demokrasi yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan
di Indonesia.
Munculnya Kekuatan
Politik Baru yang Pragmatis Pasca jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan
yang panjang oleh mahasiswa, rakyat dan politisi, kondisi politik yang
dihasilkan tidak mengarah ke perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita
bisa melihat perubahan yang sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era
penuh keterbukaan. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat
ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan
banyak hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak
membawa perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi
ekonomi dan sosial di masyarakat tidak kunjung berubah dikarenakan adanya
kalangan oposisi elit yang menguasai berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi
dengan sistem yang korup dan kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir
tidak ada satu pun elit lama berhaluan reformis yang berhasil memegang
posisi-posisi kunci untuk mengambil inisiatif. Perubahan politik di Indonesia,
hanya menghasilkan kembalinya kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi
dalam waktu singkat, dan munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis.
Infiltrasi sikap yang terjadi pada kekuatan baru adalah karena mereka
terpengaruh sistem yang memang diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan
mudah.
Selain hal tersebut,
kurang memadainya pendidikan politik yang diberikan kepada masyarakat,
menyebabkan belum munculnya artikulator-artikulator politik baru yang dapat
mempengaruhi sirkulasi elit politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan
organisasi non-pemerintah, dan kelas menengah politik yang ”mengambang” lainnya
terfragmentasi. Mereka gagal membangun aliansi yang efektif dengan
sektor-sektor lain di kelas menengah. Kelas menengah itu sebagian besar masih
merupakan lapisan sosial yang berwatak anti-politik produk Orde Baru. Dengan
demikian, perlawanan para reformis akhirnya sama sekali tidak berfungsi di
tengah-tengah situasi ketika hampir seluruh elit politik merampas demokrasi. Lebih
lanjut, gerakan mahasiswa yang pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah kuat,
kini sepertinya sudah kehilangan roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal ini
bukan hanya disebabkan oleh berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat
apatisme yang tinggi yang disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan
di bidang pendidikan. Mulai dari mahalnya uang kuliah yang menyebabkan
mahasiswa dituntut untuk segera lulus. Hingga saringan masuk yang menyebabkan
hanya orang kaya yang tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal
tersebut, representasi keberagaman kesadaran politik masyarakat ke dunia publik
pun menjadi minim. Demokrasi yang terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya
bisa dilihat sebagai demokrasi elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi
para elit. Rakyat hanya sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok
elit yang sebaiknya memerintah masyarakat.
Prinsip-prinsip
demokrasi
Rakyat dapat secara
bebas menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial. Prinsip
demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi
dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi,
dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko
guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
- Kedaulatan
rakyat;
- Pemerintahan
berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
- Kekuasaan
mayoritas;
- Hak-hak
minoritas;
- Jaminan
hak asasi manusia;
- Pemilihan
yang bebas dan jujur;
- Persamaan
di depan hukum;
- Proses
hukum yang wajar;
- Pembatasan
pemerintah secara konstitusional;
- Pluralisme
sosial, ekonomi, dan politik;
- Nilai-nilai
toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Asas Pokok Demokrasi
Gagasan pokok atau
gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia,
yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan
sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi,
yaitu:
- Pengakuan
partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil
rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan
rahasia serta jujur dan adil; dan
- Pengakuan
hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk
melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Ciri-Ciri
Pemerintahan Demokratis
Pemilihan umum secara
langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik. Dalam perkembangannya,
demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh
negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
- Adanya
keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik,
baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
- Adanya pengakuan,
penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga
negara).
- Adanya
persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
- Adanya
lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat
penegakan hukum
- Adanya kebebasan
dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
- Adanya
pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol
perilaku dan kebijakan pemerintah.
- Adanya
pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan
rakyat.
- Adanya
pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin
negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya
pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan
sebagainya).
Sejak merdeka, Indonesia
telah mempraktekkan beberapa sistem politik pemerintahan atas nama demokrasi,
dari, oleh dan untuk rakyat.
1. Tahun 1945-1959; Demokrasi Parlementer, dengan ciri ;
ü Dominasi partai politik di DPR Kabinet silih berganti
dalam waktu singkat
ü Demokrasi Parlementer ini berakhir dengan Dekrit
Presiden 1959.
2. Tahun 1959-1965; Demokrasi Terpimpin, dengan ciri-ciri
:
ü Dominasi presiden, yang membubarkan DPR hasil Pemilu
1955, menggantikannya dengan DPR-GR yang diangkat oleh Presiden, juga diangkat
presiden seumur hidup oleh anggota parlemen yang diangkat presiden itu.
Terbatasnya peran partai politik Berkembangnya pengaruh komunis
ü Munculnya ideologi Nasional, Agama, Komunis (NASAKOM)
ü Meluasnya peranan militer sebagai unsur sosial politik
ü Demokrasi terpimpin berakhir dengan pemberontakan PKI
September 1965.
3. Tahun 1965-1998; Demokrasi Pancasila; dengan
ciri-ciri:
ü Demokrasi berketuhanan
ü Demokrasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab
ü Demokrasi bagi persatuan Indonesia
ü Demokrasi yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
ü Demokrasi berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia
Kita tidak menafikan
betapa indah susunan kata berkaitan dengan Demokrasi Pancasila, tetapi pada
tataran praksis sebagaimana yang kita lihat dan rasakan:
·
Mengabaikan eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, di mana tidak merasa dikontrol oleh Tuhan. Para
pemimpin, terutama presiden tabu untuk dikritik, apalagi dipersalahkan. Ini
bermakna menempatkan dirinya dalam posisi Tuhan yang selalu harus dimuliakan
dan dilaksanakan segala titahnya serta memegang kekuasaan yang absolut
·
Tidak manusiawi, tidak adil dan tidak beradab, dengan
fakta eksistensi nyawa, darah, harkat dan martabat manusia lebih rendah dari
nilai-nilai kebendaan
·
Tidak ada keadilan hukum, ekonomi, politik dan
penegakan HAM.
·
Pemilu rutin lima tahunan, tetapi sekedar ritual
demokrasi. Dimana dalam prakteknya diberlakukan sistem Kepartaian Hegemonik,
yakni pemilu diikuti oleh beberapa partai politik, tetapi yang harus
dimenangkan, dengan menempuh berbagai cara, intimidasi, teror, ancaman dan
uang, hanya satu partai politik.
4. Tahun 1998- sekarang, orde reformasi dengan ciri-ciri
enam agenda:
ü Amandemen UUD 1945
ü Penghapusan peran ganda (multifungsi) TNI
ü Penegakan supremasi hukum dengan indikator mengadili
mantan Presiden Soeharto atas kejahatan politik, ekonomi dan kejahatan atas
kemanusiaan.
ü Melaksanakan otonomi daerah seluas-luasnya
ü Penegakan budaya demokrasi yang anti feodalisme dan
kekerasan
ü Penolakan sisa-sisa Orde Lama dan Orde Baru dalam
pemerintahan
Sumber : http://lenamegawati.blogspot.com/2012/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html